Jumat, 29 Agustus 2014

R. M. P. Sosrokartono

“Mandor Klungsu, Sebuah Ajaran Perilaku Zuhud ”
Edisi Psychology Tasawuf
Batamtoday.com


Pengantar

            R.M.P. Sosrokartono merupakan tokoh kharismatik Jawa yang banyak memberikan pelajaran melalui mustikaning sabda ‘kata-kata mutiara’, juga dengan perbuatan nyata. Banyak dari ajaran Sosrokartono yang merupakan sebuah tuntutan hidup, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagian besar ajarannya mengandung makna filosofis yang mendalam.
            Tokoh tersebut menurut penyusun menarik untuk diangkat karena beliau merupakan tokoh bangsa yang memiliki latar belakang bangsawan jawa serta tokoh intelektual yang sangat masyhur pada zamannya, namun memilih kembali ke Indonesia untuk memberikan pengajaran kepada masyarakat yang waktu itu masih dalam bayang-bayang  bangsa penjajah. Selain itu beliau juga menghindari kehidupan mewah, sebuah perilaku yang jarang ditemukan pada keturunan bangsawan pada umumnya.
            Sosrokartono mengabdikan hidupnya untuk sesama. Hal tersebut merupakan wujud pengabdian kepada Allah dan berbuat baik kepada Allah. Itulah sebenarnya yang menjadi ajaran-ajaran beliau, bahwa orang hidup di dunia ini harus memenuhi “maksud Allah menciptakan manusia”, yaitu agar manusia ikhlas menjalankan ibadah kepada-Nya atau manusia berbuat baik kepada siapa saja  karena Allah.
            Beliau lebih memilih berinteraksi dengan masyarakatnya, bersosialisasi serta memberikan apa yang dimilikinya daripada harus menyendiri “nyepi” untuk melaksanakan pengabdiannya kepada Tuhan. Tentu ini berbeda dengan kebanyakan tokoh Sufi yang banyak ditulis dalam buku-buku yang beredar dipasaran, sehingga penyusun merasa perlu untuk mengangkat tokoh tersebut dalam makalah ini.



Pembahasan

A.    Biografi R.M.P. Sosrokartono
Raden Mas Panji Sosrokartono lahir di Mayong pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 M. beliau adalah putra R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Sejak kecil beliau sudah memiliki keistimewaan, beliau cerdas dan mempunyai kemampuan membaca masa depan. Kemampuan batinnya ini terlihat tatkala beliau mengatakan akan pindah ke Jepara kepada ibunya dan tak lama lagi ayahnya pun akan diangkat sebagai bupati Jepara. [1]
Kakak dari ibu kita Kartini ini, setelah tamat dari Eropesche Learge School di Jepara, beliau melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda. Mula-mula masuk kesekolah Teknik Tinggi di Leiden, tetapi tidak merasa cocok, sehingga pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya.
Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjalani pelbagai pekerjaan. Menjadi Wartawan perang pada Koran New York Herald and New York Herald Tribune, penterjemah di Wina, alih bahasa pada kedutaan Perancis di Den Haag, pernah beliau jalani pernah beliau jalani. Bahkan karena menguasai 26 bahasa, beliau dipercaya sebagai penterjemah untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa. [2]
Beliau kembali ke rahmatullah pada hari Jum’at Pahing, tanggal 8 Pebruari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung, yang terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam. Beliau telah merasakan kehidupan dunia selama 75 tahun. Makam beliau terletak di Jalan RM. Sosrokartono Desa Kaliputu Kecamatan Kota Kabupaten Kudus Jawa Tengah.

B.     Kehidupan
Dua puluh tahun beliau menjelajah seluruh Eropa, melihat dan menghayati kehidupan tingkat tinggi dan kehidupan intelektual di kalangan mereka. Realitas mengajarinya untuk tak memandang dunia Eropa sebagai sebuah keindahan dan kenikmatan yang memuaskan, karena hari demi hari beliau senantiasa dirundung konflik batin. Sampai suatu ketika hadirlah kebenaran dari Tuhan Yang Maha Esa, saat terdengar berita tentang sakitnya seorang anak berusia ±12 tahun. Anak itu merupakan anak dari kenalannya yang menderita sakit keras yang tak kunjung sembuh meski sudah diobati oleh beberapa dokter. Dengan dorongan hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang sakit parah itu. sesampainya disana beliau langsung meletakkan tangannya di atas dahi anak yang sedang sakit itu dan terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan hitungan detik, dan di hari itu juga ia pun sembuh.
Kejadian itu membuat orang-orang yang tangah hadir di sana terheran-heran, termasuk juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu. setelah itu ada seorang ahli Psychiatrie dan Hipnose yang menjelaskan bahwa sebenarnya Drs. Sosrokartono mempunyai daya pesoonalijke magneetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya.
Singkatnya beliau mulai tertarik untuk belajar Psychiatrie dan Hipnose di sebuah perguruan tinggi. Namun karena beliau bukan lulusan medisch dokter sehingga dirinya hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat terbatas, tidak sesuai dengan harapan beliau. Hingga datanglah ilham untuk kembali ke tanah air untuk mengabdikan diri kepada rakyat Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, beliau bertempat tinggal di Bandung, di Dar-Oes-Salam-lah beliau mulai mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat. Beliau gemar bertirakat, lebih-lebih ketika beliau hendak menolong seseorang, maka beliau terlebih dahulu melakukan tirakat sesuai hajat yang diperlukan. Pa’ Roesno menyebutkan (Dalam Khakim, 2008) bahwa Sosrokartono pernah mendapatkan undangan dari Sultan Sumatra, Langkat. Di sanalah beliau mulai menampakkan kepribadiannya secara pasti, karena di sebuah kerajaan beliau masih menunjukkan tradisi Jawanya, kerendahan hatinya, kesederhanaannya, tidak mau menikmati kemewahan, bahkan dalam beberapa hari di tiap harinya beliau hanya makan dua buah cabe atau sebuah pisang. Saat itulah beliau seakan menjadi sang zahid, sang sufi dan manusia yang ahli tirakat.

C.     Ajaran-ajaran
Sampai di akhir hayatnya, beliau tetap senang bertirakat, senang menolong sesama, bahkan beliau telah menyerahkan hidup dan matinya hanya untuk Allah, untuk kepentingan umat karena Allah. Beliau menjuluki dirinya dengan sebutan “Mandor Klungsu” dan “Jaka Pring”. Beliau tidak menikah dan tidak memiliki murid dan wakil.
Ajaran Sosrokartono banyak mengandung tuntunan moral dan budi pekerti yang dapat diimplementasikan dalam beberapa aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam aspek pendidikan. Penerapan ajaran R.M.P. Sosrokartono di bidang pendidikan penting dilakukan untuk memupuk rasa persatuan dan kebangsaan mulai sejak dini. Selain itu agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ajaran yang diwariskan juga memberikan pesan kepada masyarakat pada umumnya untuk menyadari akan hidupnya dan menemukan hidup yang sejati. [3]
Menurut Ki Musa Al Machfoeld (dalam karya ilmiah Mulyono) menyatakan bahwa Sosrokartono memiliki ajaran yang metodik dan didaktik seperti diajarkan oleh para Wali dan para Auliya serta mengamalkan ibadahnya dengan jalan “Filisaanil haal”, artinya tidak hanya dengan kata-kata namun juga dengan contoh perilaku. Sedangkan menurut Roesno (dalam Mulyono) Ajaran moral Sosrokartono bersifat praktis dan humanis. Sifat praktis dalam arti bahwa ajaran tersebut bukanlah teori yang hampa belaka namun diamalkan sendiri oleh Sosrokartono ke dalam praktik kehidupan sehari-hari sebagai tauladan bagi kehidupan manusia sekitarnya. Sedangkan sifat humanis mengandung arti bahwa ajaran moral Sosrokartono mengarahkan perilaku manusia agar mempertaruhkan segala sesuatu untuk menolong sesama manusia sebagai wujud cinta kasih dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
 Ajaran Sosrokartono bisa juga dikatakan sebagai representasi manunggaling kawulo gusti. Paham manunggaling kawulo gusti bukanlah ajaran yang menyebabkan penganutnya larut dalam ibadah lalu acuh tak acuh dengan urusan duniawi. Sebaliknya, paham itu justru dijadikan sebagai ideology revolusioner untuk mempersatukan rakyat, penguasa dan Sang Pencipta. [4] Hal tersebut terlihat dari ajaran-ajaran Sosrokartono yang menunjukkan sikapnya selalu membaur dengan masyarakat, ikhlas menolong sesama, dan bukannya sebaliknya yaitu menyendiri (individualis) dan acuh terhadap realitas sosial yang terjadi pada waktu itu.
Mandor Klungsu merupakan ajaran untuk menyerahkan seluruh kemampuannya (kebanyakan yang non materi) kepada mereka yang membutuhkan tanpa pamrih sebagai sedekah beliau, karena kebajikan adalah sedekah. [5] Satu-satunya keinginan beliau adalah mencintai dan mengabdi kepada Tuhan. Yang beliau ingat hanya Tuhan (dzikrullah). Untuk pekerjaan mulia apa pun yang beliau lakukan, beliau tidak meminta imbalan, tidak butuh pujian. Hasil kerja beliau, semuanya diserahkan kepada Tuhan. Menurut Aksan (dalam Khakim, 2008), kedudukan beliau di dunia adalah sebagai “Pemberi”. Beliau tak ingin menerima sesuatu. Karena itu, beliau bebas dari derita.
Sosrokartono sudah menentukan pilihannya yaitu menjauhi kenikmatan duniawi, mungkur ing kadonyan dengan “Jalan kerohanian”,atau yang dalam term Islam biasa disebut dengan “Jalan Tasawuf”, dan “mungkur ing kadonyan” disebut sebagai “zuhud”. [6]
Dalam Q.S. Al An’aam:162, Allah berfirman: “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan sekalian alam”. Beliau adalah merupakan seorang hamba yang melakukan apa saja karena Allah. Beliau melakukan kebaikan, menolong orang lain karena wujud kecintaannya kepada Allah.
Rasa cinta beliau kepada Tuhan seperti ungkapan salah seorang Sufi yaitu Ibn Arabi. Menurut Ibn Arabi, “Aku bersama dengan agama cinta” (addinu bi din al-hubb). Hanya dengan agama cinta yang tuluslah manusia akan mencapai derajat yang luhur dan menjadi insan kamil. [7]




Daftar Pustaka

Khakim, Indy G. 2008. Sugih Tanpa Bandha. Blora : Pustaka Kaona.
Rahman, Ithafur. 2013. Pendidikan Kebangsaan dalam Ilmu dan Laku Jawa Ajaran R.M.P. Sosrokartono. Jurnal Sutasoma 2 (1) Unnes.
Masduqi, Irwan. 2011. Suluk Sufi Ulama Kraton Yogyakarta : Ajaran Kyai Nur Iman. Yogyakarta : Assalafiyah Press.


[1] Khakim, Indy G. 2008. Sugih Tanpa Bandha. Blora:Pustaka Kaona. hlm. 5
[2] Ibid. hlm. 6
[3] Rahman, Ithafur. 2013. Pendidikan Kebangsaan dalam Ilmu dan Laku Jawa Ajaran R.M.P. Sosrokartono. Jurnal Sutasoma 2 (1) Unnes. hlm. 2
[4] Masduqi, Irwan. 2011. Suluk Sufi Ulama Kraton Yogyakarta : Ajaran Kyai Nur Iman. Yogyakarta : Assalafiyah Press. hlm. 74
[5] Khakim, Indy G. 2008. Sugih Tanpa Bandha. Blora:Pustaka Kaona. hlm. 11
[6] Ibid. hlm. 11-12
[7] Masduqi, Irwan. 2011. Suluk Sufi Ulama Kraton Yogyakarta : Ajaran Kyai Nur Iman. Yogyakarta : Assalafiyah Press. hlm. 87