Sabtu, 07 Agustus 2010

NASIONALISME, BUDAYA
Dan KEHANCURANNYA

Penantian sebuah fenomena baru di tengah akulturasi budaya ber kedok globalisasi

Ketika budaya kita di lucuti oleh budaya asing yang lebih modern, ketika bahasa kita telah terkontaminasi oleh bahasa ”gaul” sebagai bahasa tren anak muda kekinian, dan ketika produk kita tak mampu lagi menjadi tuan rumah dinegeri sendiri karena di geser oleh produk impor yang lebih murah meriah namun dengan kualitas yang lebih terjamin, masihkah kita bisa ngomong Nasionaisme, cinta tanah air atau apalah itu yang mengklaim sebagai warga negara Indonesia?

Bergulirnya globalisasi di negara berkembang sangat berdampak banyak bukan hanya pada sektor ekonomi semata namun juga ke aspek lain yakni budaya, sosial, pendidikan,bahkan sampai mengubah cara pikir seseorang dan yang paling luar biasa adalah sampai merambah ke keyakinan manusia yang berada di suatu negara. Alih-alih mencari kebaikan dari globalisasi, dalam kenyataannya malah sebaliknya. Negara berkembang hanya mendapat kejelekan dan kerugian yang di akibatkan serta kebaikannya hanya di dapat serta di nikmati oleh negara yang memiliki permodalan kuat dan pandai dalam permainan spekulasi.

Budaya mulai dari makanan, cara berpakaian, sampai ke masalah keyakinan, indonesia memang gudangnya, berbagai jenis makanan terdapat di sana bahkan hampir dipastikan tiap daerah atau kabupaten memiliki makanan khas yang membedakan dengan daerah lainnya sebut saja daerah kabupaten kudus, di daerah ini sangat masyhur dengan soto kudus sebagai makanan khas dan oleh-oleh jenangnya. Sedangkan untuk masalah cara berpakaian pun begitu, seperti halnya makanan, pakaian pun di tiap daerah memiliki corak menarik dan membedakan dengan daerah lain, masih di kawasan kudus kalau pakaian batik adalah warisan leluhur bangsa kita sejak dulu kala dan di beberapa daerah pakaian ini di anggap memiliki nilai filosofi tinggi karena tiap acara, pasti ada yang membedakan dari segi corak dan motifnya. Kudus pun memiliki batik tersendiri, namun tetap ada yang membadakan dengan kabupaten lain yakni masalah corak yang menjadi salah satu khasanah lokal, namun saat ini generasi penerus banyak yang kurang tau atas hal tersebut mungkin karena di nilai kurang modis dan ngga’ bisa ngikutin trend saat ini sehingga mayoritas dari kita kurang mengapresiasi atas produk sendiri dan lebih memilih pakaian dengan merek impor terkenl dan di jual di pasar swalayan. Kembali sedikit ke makanan, saat ini pun nasib soto kudus juga ngga’ sebaik seperti di abad sebelum XX, karena memasuki abad XXI banyak makanan siap saji dengan harga miring dan dengan porsi yang ideal untuk perut penduduk lokal, yang menjamur di berbagai kota bahkan saat ini pun telah banyak yang masuk ke berbagai pelosok daerah.
Dapat di simpulkan disini bahwa semakin bertambah hari semakin banyak yang hilang kebudayaan asli kita, bukan tidak mungkin terjadi di tahun tahun mendatang khasanah budaya kita di daerah akan lenyap tergantikan oleh hasil cipta rasa dan karya bangsa lain. Sebelum hal tersebut terjadi sebagai penerus tonggak perjuangan para pahlawan, kita harus introspeksi diri serta melakukan tindakan yang dapat menyelamatkan budaya kita dari rong-rongan bangsa lain dengan kedok globalisasi sebagai wujud rasa memiliki dan kecintaan atas tanah air kita. Hal tersebut dapat kita upayakan bahkan mulai dari hal yang sangat kecil sekalipun. Sebagai contoh: dari bahasa sehari hari, kalau ahir-ahir ini kita sering mendengar orang saling bercakap dengan bahasa yang agak kebarat baratan dengan kombinasi sedikit pelat, maka salah satu upaya konkrit yang kita lakukan bukan malah ikut-ikutan, tapi selayaknya kita bangga kalau keseharian kita berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, kalau untuk orang jawa dapat menggunakan bahasa kromo untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua ataupun derajat nya di atas kita. Sebenarnya hal tersebut tak semudah yang di bayangkan, apakah ini merupakan kedahsyatan efek yang di timbulkan dari akulturasi budaya yang gagal ataukah ini merupakan pergeseran budaya yang terjadi mengikuti skenario yang telah ada dan budaya lokal termarjinalkan di daerahnya sendiri karena suatu budaya ada zamannya, serta akan tergantikan juga sesuai arus zaman. Wallahu a’lam, diri kita masing masinglah yang mengetahui jawaban serta solusinya.

Kesadaran dapat muncul apabila seseorang telah mengetahui hak dan kewajiban, begitu pula pada permasalahan ini, seorang warga negara akan sadar dan menunjukkan kecintaan nya pada tanah air bila hak dan kewajiban sebagai warga negara telah di ketahuinya. Untuk kewajiban sebenarnya telah di sebutkan secara umum dalam dasar negara, namun karena sosialisasi yang dilakukan pihak terkait tak se segencar 10 atau 20 tahun yang lalu ketika pak harto masih menjabat, maka saat ini banyak utamanya dari kalangan muda yang kurang mengerti akan kewajibannya terhadap negara, kemudian untuk masalah hal itu sendiri dapat di dapatkan ketika telah menunaikan kewajiban dan memang begitu harusnya, namun karena saking terbiasanya dan terlalu di biasakan untuk berbuat yang serba instan tanpa mempertimbangkan yang terjadi di kemudian hari, maka beginilah jadinya. Dulu masyarakat di iming imingi dengan gaji tinggi dan mobilitas kerja yang singkat, maka saat ini pun mayoritas dari alumnus sekolah sekolah tinggi yang berkemampuan luar biasa, hanya mengandalkan bekerja di sektor pemerintahan (PNS). Padahal masih banyak hal yang dapat dilakukan semisal dengan menjadi enterpreneur (berwirausaha), dari berwirausaha ini pula negara Cina dapat menciptakan banyak lapangan kerja untuk rakyatnya sehingga masalah pengangguran pun bukan menjadi masalah pokok pemerintah, karena mereka menciptakan sejak kecil di program untuk menciptakan pekerjaan bukan mencari pekerjaan seperti warga negara kita.

Sebagai generasi penerus kita harus meniru semangat patriotisme para pejuang dan mengimplementasikannya dalam kehidupan saat ini yang serba canggih. Jangan sampai kita di nina bobokan dengan ”gebyare ndonyo” sehinga kita lupa akan jati diri kita sebenarnya. Kalau kita belum mampu mengambil kebaikan dari akulturasi budaya, selayaknya kita menggunakan budaya kita sendiri, warisan nenek moyang kita yang sudah terbukti dan teruji selama ratusan tahun bahkan lebih.



di terbitkan pada majalah Ath-Thullab XIV